Cari Blog Ini

Minggu, 08 Mei 2011

(jilid IV) GEORGE NOVACK SEJARAH INTERNASIONAL PERTAMA DAN INTERNASIONAL KEDUA

Bab IV : Perang Dunia Pertama dan Keruntuhan Internasional

Pada bulan Oktober 1912 Montenegro menyatakan perang terhadap Turki, yang tak lama kemudian menjalar ke seluruh wilayah Balkan. Bau aroma mesiu sudah tercium sampai ke Eropa, dan hanya di butukan sedikit percikan api untuk membuatnya meledaknya. Kantor pusat Internasional segera me rancang rapat-rapat anti perang, dan mempersiapkan KLB ( Kongres Luar Biasa) sosialis Internasional yang akan di selenggarakan di Basle pada tanggal 24-25 November 1912.

Sungguhpun dipisahkan dalam jangka waktu yang kurang dari satu bulan, kongres tersebut dihadiri tidak kurang dari 555 delegasi dari 23 negeri Kongres yang juga bertujuan sebagai ajang 'unjuk gigi' soliudaritas klas buruh internasional, dalam mengantisipasi ancaman perang yang akan segera menjalar. Pada hari kedua kongres, para delegasi secara bulat telah menandatangani manifesto yang telah dirancang kantor pusat.

Manifesto Basle-lah untuk pertama kalinya mengumandangkan bahwa- perang Eropa yang akan segera menjelang - pada hakikatnya berwatak imprealis. Manifesto Basle juga mengukuhkan posisi prinsipil perjuangan kaum buruh berkenaan dengan persoalan peperangan, yang telah di tetapkan kongrews-kongres interrnasional kedua di Stuttgart (1907) dan Copenhagen (1910). Manifesto Basle juga menggarisbawahi peluang revolusi sosial yang dapat meletus menyusul pecahnya perang.. Dengan mengambil contoh-contoh sperti pemberontakan Komune Paris yang meletus menyusul perang Perancis- Prussia (Jerman) tahun 1871, juga revolusi 1905 di Rusia selama perang Rusia Jepang. Manifesto tersebut antara lain juga menyatakan bahwa "Adalah suatu ketololan yang luar biasa, bila pemerintah-pemerintah yang berkuasa saat ini tidak menyadari luar biasanya ancaman perang dunia… yang dapat dengan mudah memicu revolusi klas buruh" (Landauer, sosialisme Eropa, halaman 495).

Lenin dan perwakilan-perwakilan kaum bolshevik lainnya pada kongres Basle ini 'sangat puas' dengan resolusi tersebut . Lenin dan kawan-kawan manifesto Basle ini sebagai pernyataan penting tentang sikap kaum marxis dalam menghadapi perang kaum imprealis. Sungguhpun demikian Lenin sendiri menyadari bahwa kata-kata/ pernyataan belaka, tidaklah boleh disamakan bobotnya dengan tindakan-tindakan konkrit/aksi. Lenin menyadari betul tentang kecendrungan patriotik (nasionalis) dan arus oportunisme yang sedang berkembang di dalam internasional kedua. Menurut Zinoviev, setelah selesai membaca manifesto Basle tersebut Lenin berkata. "Mereka telah memberikan kita catatan-catatan yang menjanjikan, mari kita lihat seberapa besar usaha mereka untuk mencapainya".

Catatan yang menjanjikan tersebut di uji pada bulan Juli 1914 kaetika Austria dan Hungaria menyampaikan ultimatum kepada Serbia. Anggota-anggota internasional kedua langsung mananggapi krisis ini, dengan mengacu pada ketetapan pertama resolusi stuttgart (1907) , yang berbunyi : "Bila sebuah perang nampaknyua akan meletus, adalah tugas klas-klas buruh … dan seterusnya … untuk mencurahkan dukungan… dengan mengerahkan segenap upaya dalam mencegah meletusnya perang".

Pada tanggal 19 juli 1914, sementara pasukan tentara Austria sedang bergerak di Belgrade ; Kantor pusat sosialis Internasional menggelar demonstrasi anti perang besar-besaran di Jerman, Austria, Italia, Perancis dan Belgia. Demonstrasi besar-besaran itu di pindah ke Wina pada 23 Agustus 1914, dan kemudian pindah ke Paris pada 9 agustus. Dua hari kemudian Partai Sosialis Jerman mencanangkan Manifesto, yang mendesak agar pemerintah Jerman tidak perlu ikut-ikutan dalam perang yang mengerikan" tersebut. Partai Sosialis Jerman juga menggelar rapat-rapat akbar untuk perdamaian, yang dihadiri jutaan kaum buruh. Pada hari di mana Jerman mengumumkan perang terhadap Rusia … Herman Muellle yang telah menjanjikan bahwa partainya sama sekali tidak akan mentokong peperangan, di kirim ke Paris. Sehari sebelumnya Jean James pimpinan sosialis Perancis terbunuh oleh seorang nasionalis fanatik

Di tengah hawa patriotik untuk membela tanah air yang menjalar ke seluruh penjuru negeri, pimpinan-pimpinan partai sosialis demokrasi nampaknya terlalu optimis … bahwa aksi-aksi dan tekanan yang mereka berikan, akan dapat memaksa pemerintah-pemerintah untuk menunda rencana perang mereka. Sejarah menunjukan bahwa sungguhpun aksi-aksi demonstrasi massal mendapatkan perhatian juga dari pemerintahan negeri-negeri imprealis ; namun kepentingan yang lebih besar di antara kekuatan-kekuatan imprealsi (untuk memperluas cakupan kekuasaannya), membuat mereka tidak kuasa menahan diri.

Setelah gagal untuk mencegah meletusnya peperangan di anttara kekuatan-kekuatan imprealis; Kantor pusat dan anggota-anggota Internasional kedua kemudian menimbang-nimbang momnen dan cara yang paling tepat untuk mengemban tugas kedua yang di tetapkan oleh Resolusi Stuttgart: " Bila peperangan tersebut nampaknya tidak dapat di cegah dengan cara apapun juga… maka, dalam rangka untuk mendorong terjadinya percepatan… memanfaatkan krisis ekonomi dan politik (yang diciptakan oleh peperangan) untuk membangkitkan massa rakyat, agar mamacu kejatuhan kekuasaan klas kapitalis".

Inilah saat yang genting bagi persaudaraan internasionalisme klas proletar untuk menguji dirinya sendiri. Menguji kapasitas anggota-anggota dan partai-partai yang tergabung di dalamnya, untuk mengatasi tekanan-tekanan kaum bojuis. Pada titik inilah kaum revolusionis sejati akan dapat di bedakan dengan kaum peng-ekor/pem-bebek, yang dapat dengan segera mengubah-ngubah prinsipnya sendiri. Seperti halnya dewasa ini --peperangan dan revolusi menyediakan batu penjuru-- yang dapat membedakan kaum Marxis sejati.

Namun kesatuan dan kebulatan tekad yang di pertunjukan oleh kaum sosialis dari berbagai negeri untuk mencegah meletusnya perang ; di kacaukan oleh seruan-seruan untuk segera melakukan mobilisasi (wajib militer). Seruan-seruan wajib militer dengan dalih menyelematkan "tanah air tercinta" ternyata di sambut oleh mayoritas massa. Sedemikian rupa sehingga begitu memukul solidaritas sosial Internasional.

Peperangan ternyata memecah Imternasional menjadi tiga pengelompokan yang berbeda ; Kaum sayap kanan, kaum tengah, kaum kiri. Kecendrungan-kecendrungan yang telah menjalar dalam periode -periode sebelumnya, ternyata semakin di percepat akibat peperangan. Dalam manifesto pertamanya yang di keluarkan pada bulan nopember 1914, kaum Bolshevik menuding para penganjur nasionalsime (dengan dalih-dal;ih "patriotoknya") , hanya sekedar mencari-cari alibi … bagi jalur oportunis yang telah mereka tempuh dan khotbahkan selama tahun-tahun terakhir ini.

"Mereka mengatakan bahwa keruntuhan Internasional Kedua --adalah keruntuhan yang telah di picu oleh oportunisme-- yang tumbuh dengan subur selama periode sejarah (yang di sebut sebagai "masa terang dan tanpa gejolak") … masa-masa yang kini telah lewat ; namun selama tahun-tahun terakhir ini, praktis telah mendominasi Internasional Kedua. Kaum oportunis memang telah lama mempersipkan landasan bagi keruntuhan ini; dengan menolak revolusi sosialis dan menggantikannya dengan reformasi borjuis. Dengan menentang perjuangan klas (yang pada titik tertentu secara tak terjhindarkan akan berubah menjadi perang saudara) … dan dengan menganjurkan kolaborasi klas, maupun dengan meyerukan nasionalisme borjuis (dengan topang/selubung 'patriotisme' untuk membela tanah air)… Atau dengan menolak kebenaran fundamental atas sosialisme ( yang telah sekian lama termaktubkan dalam Manifesto Komunis) ; " Bahwa kaum buruh tidak memiliki tanah air". Denagan membatasi diri mereka pada cara pandang orang-orang murtad, dan bukanya menyadari keharusan untuk mengemban perang revolusiner yang sesungguhnya bagi kaum buruh sedunia, dengan melawan borjuasoi di seluruh permukaan bumi ini… Akhirnya juga dengan terlalu mendewa-dewakan penggunaan parlementarisme borjuis … sedemikian rupa sehingga melupakan bahwa bentuki-bentuk ilegal dari organisasi dan propaganda adalah sebuah keharusan, di masa-masa krisis". (Lenin, Karya-Karya Terkoleksi Lanin, Volume 21, halaman 32).

Tidaklah mengherankan bahwa mayoritas partai dan pimpinan-pimpinannya kemudian membuat manuver 'banting setir, peperangan yang telah mereka nyatakan pada bulan juli sebagai "agresi antar kekuatan-kekuatan imprealis ". Tidak sampai satu bulan kemudian pada bulan Agustus, mereka menjilat ludah mereka sendiri, dengan mencanangkan perang sebagai upaya pembelaan bangsa secara umum.

Partai sosial demokrasi Jerman menyerukan "pembelaan bangsa" dalam menghadapi Rusia. Seturut sikap partai, anggota-anggota sosialis demokrasi di parlemen (reichstag), memberikan suara mereka untuk mendukung pernyataan perang negeri Jerman pada tanggal 4 Agustus 1914. Baru saja pada malam sebelumnya tanggal 3 agustus pada rapat fraksi di parlemen di adakan pemungutan suara. Dan hasilnya adalah 14 banding 110. Hanya sekali suara yang menentang posisi partai untuk menolak dukungan terhadap perang. Termasuk di antaranya adalah Haase, pimpinan kaum tengah dan Liebknecht pimpinan kaum sayap kiri. Betapapun sehari kemudian pada pertemuan 4 agustus di Reichstag, Haase mewnyampaikan pernyataan yang sama sekali bertolak belakang. Haase menggambarkan perang sebagai sebuah "fakta suram yang tak bisa dielakkan" dan dengan demikian "menolak untuk meninggalkan tanah air dalam ancaman mara bahaya dan teror yang di akibatkan negeri Belgia, yang saat itu sedang di serang dan hampir di duduki oleh Jerman.

Di Belgia sendiri kaum sosialis dan pimpinan-pimpinan serikat buruhg berhimpundan meyatakan dukungan mereka pada raja Albert. Bahkan Vandervelde sendiri, kepala kantor Pusat Sosialis Internasional, menyatakan kesediaannya menjadi menteri dalam kabinet perang raja Albert!. Di Perancis bukan saja kaum sosialis, bahkan kaum sindikalis (yang secara teoritis menolak segala bentuk pemerintahan) kali ini bangkit mendukung pemerintah Perancis. Rupanya sebuah "serikat suci" yang meliputi segenap kelompok maupun partai untuk membela "la patrie " (tanah air) telah di kumandangkan.

Di Inggris pada tanggfal 1 sampai dengan 2 Agustus 1914 memang di selenggarakan rapat-rapat akbar uyntuk "menghentikan peperangan" , yang di prakarsai oleh kaum sosialis dan partai Buruh. Namun hanya beberapa hari kemudian Partai Buruh dan Kongres Serikat-serikat Buruh memberikan dukungan penuihnya kepada pemerintahan perang. Memang masih ada juga kecendrungan pasifis (yang pasif /menolak segala bentuk kekerasan) yang di kampanyekan oleh Ramsay Mac Donald ( yang keluar dari jabatannya sebagai ketua Partai Buruh), ataupun juga oleh Partai Buruh Independen … bersama-sama dengan kelompok-kelompokj kecil kaum sosialis, yang meneruskan upaya-upaya penentangan perang. Namun jumlahnya memang sedikit. Hal-hal yang sama juga terjadi di Austria dan Hungaria.

Dengan cara seperti inilah partai-partai yang tadinya sangat berbobot tersebut jatuh ke dalam oportunisme (lewat dalih patriotisme) . Melepaskan prinsip perjuangan klas demi pembelaan tanah air dan persatuan nasional. Tunduk pada para penguasa/ tuan-tuan kapitalis dan menghianati sosialisme. Tindakan-tindakan yang memalukan ini manandai keruntuhan internasional kedua, tidak hanya secara organisasional (karena pengaturan dalam peperangan melarang berfungsinya Kantor pusat sosialis Internasional )namun terutama pada urusan-urusan politik yang menentukan (decisive polical sense) . Dengan demikian internasional kedua talah lalai menjalankan tugas-tugas (yang telah di perjanjikannya pada trahun 1912), yang harus di pertanggungjawabjkan oleh para pemimpinya di hadapan klas proletar. Penghianatan yang oprtunistik atas sosialisme sedemikian menodai dan mendiskreditakan Internasional kedua, sehingga citra dan kekuatannya tidak pernah bisa di pulihkan lagi (seperti masa sebelum perang).

Sikap yang selalu berubah-rubah dari pimpinan-pimpinan kaum tangah sepereti Haase dan Kautsky mewngenai persoalan perang, ada;lah sebuah ciri yang manandai watak mereka yang tidak teguh (sepanjang karir politik mereka) . Lewmnin menggambarjkan kaum tengah sebagai orang-orang yang di bimbangkan oleh pilihan untuk menjadi chauvinis -sosial atau atau internasional sejati. Pada bulan April 1917 Lenin menuliskan:
"Kaum 'tengah' senantiasa bersumpah dan mengikrarkan bahwa bahwa diri mereka adalah marxis dan internasionalis sejati, bahwa mereka selalu cinta damai dan tak ragu-ragu untuk melakukan segala 'tekanan' terhadap pemerintah… Lewat 'tuntutan-tuntutan mereka ' agar pemerintah'memastikan kelangsungan perdamaian yang di kehendaki rakyat'. Bahwa dalam kecintaan mereka terhadap perdamaian mereka menentang segala bentuk aneksasi (pencaplokan wilayah/negeri tertentu) , dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya… singkatnya kaum tengah senantiasa berorienbtasi pada persatuan, kaum tengah senantiasa menentang segala pertengkaran dan perpecahan…"
 
" Inti dari persoalannya adalah bahwa kaum tengah tidak yakin pada keharusan jalan revolusioner dengan sepenuh hati , tidak pernah juga menyeruhkan revolusi dengan sungguh-sungguh. Sehingga dalam rangka mengelakkan tanggung jawab tersebut mereka berlindung di balik jargon-jargon ultra kiri yang sudah usang".
"Kaum 'tengah' terdiri dari orang-orang yang terjangkit penyangkit legalis, sangat menyandarkan diri pada kecendrungan-kecendrungan parlementarian. Orang-orang yang sudah mulai terbiasa dengan tugas dan posisi-posisi yang 'empuk '. Secara ekonomi dan historis, mereka bukanlah orang-orang yang terpisah/tersendiri dari gerakan klas buruh. Namun dalam proses transisi dari tahapan yang sudah lampau (tahapan antara tahun 1871s/d 1914) ke tahapan yang baru, mereka hanya 'mandeg' atau jalan di tempat sajaSebagaimana yang kita ketahui, dalam tahapan antara tahun 1971-1914, adalah momen ketika pergerakan masih dalam tahap merangkak; tumbuh dan bertahan dalam kerja-kerja organisasional yang masih seadanya. Namun dengan pecahnya pertarungan antara kekuatan imperealis dalam perang dunia pertama … sampailah kita pada tahapan baru, yang seharusnya merupakan pintu gerbang bagi era revolusi sosial (Karya-Karya Terkoleksi Lenin, Volume 24, halaman 76-77).

Namun betapapun perlu di catat bahwa tidak semua partai sosialis mendukung peperangan, dengan mengabaikan amanat yang di serukan oleh resolusi Basle. Ada dua pengecualian yang mencolok di Eropa. Di Rusia, perwakilan-perwakilan sosial demokratik, yakni kaum Bolshevik dan Menshevik keduanya menolak peperangan. Di Serbia, invasi(penyerbuan) Austria dan Hungaria, membuat sukarnya menolak teori pembelaan diri. Namun orang-orang Sosial Demokrat Serbia (tidak seperti rekan-rekannya di Perancis dan Belgia), merekaa dengan tegas menolak segala dukungan terhadap rejim borjuasi. Mereka bersikukuh dengan menegaskan bahwa invasi (penyerbuan) Perancis dan Belgia, tidaklah cukup untuk di jadikan alasan yang sah untuk meninggalkan prinsip-prinsip kaum sosialis.

Dalam pada itu, Lenin menggambarkan Internasionalisme sejati sebagai berikut:
 
Watak imternasionalisme di cirikan dengan penolakan total atas kecendrungan chauvinis-sosial ataupun sentrisme (yang di anut kaum tengah). Juga perjuangan revolusioner yang tak gentar melawan pemerintahan imprealis ataupun imprealis borjuasi negerinya sendiri. Prinsipnya adalah 'lawan kita yang utama sesungguhnya ada di rumah kita sendiri'. Para internasionalis sejati mengemban perlawanan yang keras terhadap ungkapan-ungkapan manis kaum pasifis sosial (kaum pasifis sosial adalah seorang 'sosialis di mulut' namun seorang pasifis borjuis dalam perbuatan; mereka adalah orang-orang yang memimpikan penciptaan perdamaian tanpa penyingkiran/penghapusan dominasi kapital). Mereka -- sekali lagi-- adalah orang-orang yang menentang segala dalih yang di kemukakan opleh orang-orang oportunis… dengan segala alasan-alasannya, berkilah bahwa penbcanangan revolusi sosialis proletarian, pada saat peperangan tersebut adalah tidak tepat, karena saatnya belum tiba, ataupun untuk singkatnya mereka mengeluarkan kesimpulan sepihak bahwa revolusi tidak dapat di lancarkan pada masa-masa perang (lihat Karya-Karya Terkoleksi, Lenin, Halaman 77-78).

Lenin menunjuk Karl Liebknecht sebagai contoh, yang di penjarakan oleh pemerintah. Karena dari tribun parlemen, secara terbuka menyerukan kepada kaum buruh maupun prajurit prajurit-- sebagai representasi arus revolusioner yang sedang melanda Jerman-- untuk berbalik; dan mengartahkan moncong senjatanya kepada pemerintah mereka sendiri. Lenin menambahkan (sambilmengutip kata-kata tajam Rosa Luxemburg) Bahwa kaum sosial demokrasi yang selebihnya … tidak lain dari pada 'mayat-mayat kaku yang menjijikan' (sementara Liebknecht sebagai anggota sekaligus pimpinan "kelompok separatis").

Kaum internasionalis yang paling konsisten dan berpandangan paling jauh ke depan adalah kaum Bolshevik yang di pimpinoelh Lenin. Namun anggota-anggota Bolshevik yang di buru-buru dan yang banyak berada di pengasingan menghadapi kesukaran/kendala dan tekanan-tekanan selama krisis peperangan ini. Komite Organisasi Luar Negeri (yang berfungsi sebagai kantor pusat perwakilan Bolshevik di luar Rusia), bermarkas di Paris. Komite inipun ternyata pecah. Dua anggota komite mendaftarkan diri sebagai anggota tentara Perancis, sementara selebuhnya mengundurkan diri. Jaringan yang seharusnya terjalin antara Komite Sentral Bolshevik di Rusia ; antara lain --Zinoviev-- anggota-anggota kantor Komite Sentral di luar negeri terputus.

Ketika Lenin dan Zinoviev berangkat dari Galicia ke Swiss pada permulaan perang. Mereka mengangkut semua yang masih tertinggal di sekretariat Komite Sentral Bolshevik di luar negeri.

Lenin bekerja keras untuk membangun kembali, menghidupkan lagi Sosial Demokrat (baca organ sentral Partai). Juga memperbarui kontak, jaringan-jaringan, seksi-seksi Bolshevik yang tercerai berai; mengupayakan penyelundupan literatur-literatur partai ke dalam Rusia dan menyerap informasi perkembangan terakhir di Rusia. Di atas segalanya, Lenin tak jemu-jemunya melancarkan polemik -- melawan kaum nasionalis/'patriotis' maupun kaum tengah -- tidak hanya di Rusia, tapi juga poada tingkatan internasional. Secara khusus Lenin memacu kebijakan Bolshevik, agar menolak keikutsertaan dalam perang.

Berikut ini adalah butir-butir pokok dari program yang di kedepankan oleh Lenin, pada bulan Oktober 1914 (dalam tulisannya, tentang perang dan sosial demokrasi di Rusia).
 
1. Peperangan pada hakikatnya adalah beradunya kekuatan imprealis dalam tapal batas masing-masing (batlefronts). Pertahanan/pembelaan tanah air tidak memiliki relevansi dalam agresi yang saling bertarung tersebut di atas.
 
2. "Adalah kewajiban dari segenap proletariat yang berkesadaran klas, untuk membela dfan mempertahankan solidaritas klasnya, juga untuk membela semangat internasionalisme, maup[un ketegaran sosialisnya… melawan chauvinime yang tak terkendalikan dari klik-klik 'Patriotik' Borjuis di seluruh dunia. Bila kaum buruh yang berkesadaran klas pada akhirnya 'angkat tangan' dari kewajiban ini… maka ini berarti bahwa mereka telah mencampakan aspirasi bagi demokrasi dan kebebasan; singkatnya mencampakan aspirasi sosialis diri mereka sendiri" (Karya-Karya Terkoleksi Lenin, Volume 21, Halaman 29).
 
3. Kaum oporutnis telah menghianati prinsip-prinsip sosialisme. Untuk itu perlawanan tanpa akhir harus di tujukan kepada mereka. Kaum oportunis tersebut adalah 'penghianat-penghianat keji yang paling membahayakan'. Kami memandang tidak ada lagi penyatuan ataupun perdamaian dengan mereka; sebagaimana yang di usulkan oleh kaum tengah.
 
4. Internasional yang lama( baca;internasional kedua)telahg gugur. Dan kita hanya perlu melakukan up[acara penguburan sekedarnya. Yang terpenting adalah, kita harusa belajar dari sebab-sebab keruntuhannya, dan segera bangkit untuk meletakkan pondasi/syarat-syaratbagi kelahiran internasional yang baru.
 
5. Musuh utama kita sesungguhnya ada di dalam rumah kita sendiri (baca; didalam negeri). Tugas mendesak dan strtegis bagi kita sesungguhnya adalah, untuk mengembalikan perang imprealis … menjadui perang kaum buruh bagi penggulingan yang revolusioner atas kapitalisme. Satu-satunya jalan bagi sosialisme dan perdamaian sejati adalah justru lewat akasi massa yang revolusioner.
 
Sungguhpun kemudian, Trotsky tidak lagi menjadi anggota Bolshevik, namun ia tetap menerima cara pandang di atas. Trotsky masih harus mengatasi sisa-sisa kecendrungan untuk 'rujukan' atau 'berbaik-baikan' kembali dengan kaum tengah Rusia, maupun untuk memformulasikan posisinya setegas dan stajam Lenin. Betapapun, ia memiliki cara pandang internasionalis dan masih berpegang kepadanya.

Dalam otobiografinya, Trotsky mengingat pemungutan suara pada tanggal 14 Agustus 1914, sebagai berikut: "Hari itu membekaskan salah satu kenangan yang paling tragis dalam hidupku" (Aku kira Lenin juga mengalami hal yang sama). Kemudian pada 9 agustus 1914 Trotsky kembali menulis di buku hariannya, "Jelaslah sudah bahwa persoalan yang menimpa kita di sini, bukanlah sekedar kekeliruan atau kesalahan akibat tindakan beberapa kaum oportunis … bukannya sekedar statemen (pernayataan) yang keliru dalam tribun di parlemen, ataupun sekedar pemungutan suara bagi penetapan anggaran belanja partai Sosial Demokrasi. Bukan pula di karenakan terobosan yang coba-coba di lakukan dengan militerisme Prancis, di mana beberapa pimpinan membelot menjadi petualang… Tidak. Persoalannya adalah tentang keruntuhan internasional, pada saat di mana tanggung jawab yang sepenuh-penuhnya justru sangat di butuhkan. Saat-saat ini di mana keseluruhan kerja-kerja terdahulu kita, masuk dalam persiapan " (dikutip dari Trotsky, My 
Life/Kehidupanku, halaman 238).

"Pada tanggal 11 Agustus 1914, "tulis Trotsky, "Aku manyatakan hal ini: 'hanya kebangkitan pergerakan yang berbobot setara dengan kondisi awal peperangan … yang akan memberikan syarat-syarat bagi penegakkan internasional yang baru. Tahun-tahun ke muka akan menjadi saksi bagi periode revolusi sosial" ( lihat, Kehidupanku)

Sementara kegagalan internasional telah di ketahui secara um,um oleh perwakilan-perwakilan dari arus/kecendrungan yang berbeda-beda tersebut tidak mempunyai kesepakatan tentang apa yang seharusnya mereka kerjakan. Kaum oportunis berkayikanan bahwa -- setelah peperangan usai, dan tanah air merka menang perang-- maka internasional akan kembali memutar roda kegiatannya. Sungguhpun konstalasi seluruh dunia telah tergeser, bahkan mengalami perubahan yang sangat besar akibat guncangan peperangan … dalam sudut pandang mereka, tidak ada hal-hal pokok yang benar-benar berubah; dan mereka sendiri siap untuk kembali ke cara-cara maupun sarana-sarana yang lama, ketika perdamaian sudah pulih.

Kaum tengah yang menyesuaikan diri dengan kaum oportunis, berusaha untuk menutup-nutupi keruntuhan internasional. Mereka bimbang, dan menolak untuk memutuskan hubungan sama sekali dengan kaum 'patriot' (nasionalis). Mereka terilusi dengan kemungkinan untuk membenahi internasional yang lama; dan tidak bersedia menanggung konsekuensi untuk membangun internasional dengan pondasi/landasan yang sama sekali baru.

Dalam berkilah tentang kegagalan internasional, Kautsky kemudian berdalih bahwa, " Internasional adalah alat/instrumen bagi perdamaian, dan bukannya bagi peperangan". Stalin menyatakan hal yang sama ketika ia mencampakan komintern pada tahun 1943. Bagi Marxis sejati -- betapapun-- internasional paling di perlukan keterlibatannya, bukan pada periode tenang dan tanpa gejolak … justru pada periode ketika antagonisme sosial maupun nasional mencapai titik puncaknya, justru ketika perang saidara, atau ketika kekuatan-kekuatan imprealis atau kolonial saling berperang.

Atau andil mereka yang brengsek, kaum internasionalis sejati tentulah menuntut kaum oportunis dengan kebijakan 'patriotik' -- nasionalnya; yang mengakibatkan keruntuhan internasional kedua. Kaum internasionalis sejati tak akan berkompromi dalam program maupun organisasi dengan agen-agen busuk borjuasi tersebut.

Sewlama tahun-tahun pertama peperangan, tiga pengelompokan tersebut (kiri, tengah, kanan) melakukan upaya-upaya untuk menyatukan bagian-bagian yang memisahkan diri dari sosial demokrasi (terutama sehiubungan dengan cara pandang dan posisi mereka secara umum) . Partai-partai sosialis Italia, Swiss, dan Amerika yang mewakili negeri-negeri netral … mnereka berusaha untuk menyerukan sebuah konfrensi bersama, tanpa hasil. Pertemuan kelompok-kelompok skandinavia pada januari 1915 untuk meraih titik temu juga berakhir sia-sia.

Konfrensi perempuan sosialis yang di adakan pada tanggal 26s/d 28 maaret 1915 di Berne, Swiss ; adalah konfreensi internasional kaum sosialis pertama, yang berhasio di selenggarakan setelah pecahnya perang. Kaum perempuan Bolshevik Rusia, bekerja sama dengan Clara Zetkin (Seorang pimpinan sosial demokrasi Jerman) mengambil inisiatif untuk menyelenggarkan konfrensi tersebut. Dalam konfrensi tersebut terjadi dua kubu perdebatan besar . mayoritas suara -- di sponsori oleh Zetkin-- mengutuk peperangan sebagai ajang kekuatan-kekuatan imprealis, dan menyerukan agar kaum buruh 'memperjuangkan perdamaian'. Akan tetapi tidakj ada kesimpulan final yang terakhir dari kubu ini. Sementara minoritas di kedepankan oleh kaum Bolshevik… yang menekankan bahwa mayoritas partai sosialis "telah menjadi penghianatdengan menggantikan sosialisme dengan nasionalisme". Sehingga mereka menyerukan agar kaum buruh berjuang untuk menumbangkan kapitalisme, dan menegakkan perdamaian lewat sosialisme.

Konfrensi anti perang kaum sosialis yang penting lagi adalah yang di selenggarakan pada bulan spetember 1915 di zimmerwald,Swiss. Konfrensi ini di hadiri oleh 42 delegasi, Trotsky termasuk di antaranya. Berikut ini adalah cuploikan tentang konfrensi tersebut:
 
Hari-hari penyelengaraan konfrensi tersebut yakni antara tanggal 5 s/d 8 September 1915, begitu dipenuhi dengan perdebatan yang keras. Lenin -- mewakili sayap revolusioner-- menghadapi sayap pasifis. (yang merupakan mayoritas dalam delegasi) … masing-masing pihak memaklumi kesulitan untuk menghasilkan manifesto bersama (yang rancangannya aku buat). Akhirnya redaksional manifesto yang di hasilkan ternyata jauh dari yang di harapkan oleh masing-masing pihak. Namuyn, betapapun itu adalah satu langkah maju ke muka. Dalam konfrensi itu Lenin berada di pihak kiri jauh. Ia berada di posisi yang minoritas dalam banyak perdebatan di kongres. Bahkan Lenin sendiri tidak mendapatkan dukungan mayirotas, di dalam sayap kiri tuan rumah/penyelenggara kongres (baca: kaum kiri di Zimmerwald, Swiss) . Aku sendiri, --walaupun secara formal tidak gabung dengannya -- namun punya banyak kesamaan dalam persoalan-persoalan pokok. Betapapun harus dicamkan bahwa di konfrensi inilah, Lenin memperkuat 'kuda-kuda' bagi kebangkitan kembali Internasional di masa yang akan datang. Di sebuah dusun pegunungan Swiss, ia meletakkan batu penjuru bagi Internasional yang revolusioner (Trotsky, Kehidupanku, Halaman 249-250).

Konfrensi berikutnya yang masih membahas persoalan yang sama, di selenggarakan pada bulan April tahun berikutnya (1916) ; di kota Kienthal, masih di Swiss, konfrensi tersebut menetapkan resolusi yang mengancam pasifisme dan sepak terjang kantor Pusat Sosialis Internasional. Konfrensi mencatat satu langkah maju berkenaan dengan pematokan/ garis batas yang tegas antara arus/kecendrungan yang berbeda-beda perihal persoalan peperangan. Perjuangan idiologi dan politik yang di emban oleh Lenin, trotsky dan Luxemburg maupun kawan-kawan sejawatnya, tercatat memiliki makna historis yang penting. Dalam tahun-tahun pertama perdebatan, mereka nampaknyaterdesak, terisolasi tanpa harapan …menggerutu dan mengecam di pojok forum … menyayangkan perihgal alur perklembangan ataupun rangkaian perjalanan yang di pilih/ di tempuh oleh sebagian terbesar orang-orang di muka bumi.

Betapapun mereka bertahan dengan tegar atas gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan. Mereka juga optimis dengan kapasitas daya-penyembuhan-diri yang di miliki oleh kekuatan-kekuatan anti kapitalis; maupun dengan prospek atas revolusi sosial. Kekuatan mereka yang teguh, berasal dari wawasan teoritik perihal arah perkembangan kapitalisme, yang telah di sediakan oleh Marxisme. Dan juga dari pengalaman praktek mereka, dalam bergabung dengan kekuatan dan kapasitas perlawanan proletariat..yang disingkapkan (walaupun hanya sebentar) dalam revolusi 1905 dan pertarungan klas lainnya.

Semangat mereka di cerminbkan dengan sangat mengesankan dalam penutupan buku Trotsky yang berjudul Perihal Perang dan Internasionale (The War and The Interntional);
 
Kalaupun peperangan ternyata berkembang sedemikian rupa melampaui jangkauan yang dapat di kontrol oleh internasional kedua … maka konsekuensi langsungnyapun akan berbalik menghantam ; di luar kemampuan kontrol kaum borjuis di seluruh dunia. Kami kaum sosialis yang revolusioner tidak menghendaki peperangan, namun kami tidak jeri atau gentar atasnya. Kami tidak menyerah dan berputus asah aytas fakta keruntuhan internasional ( kedua ). Sejarah telah senantiasa meletakkannya kembali, pada posisi sebenarnya. Era revolusioner akan menumbuhkan kembali benih-benih berupa bentuk-bentuk baru organisasi, yang bermunculan dari "sumber-sumber mata air" yang tak pernah kering dari sosialisme proletariat. Bentuk-bentuk baru perjuangan akan setara dengan tugas-tugas baru yang tidak kalah besarnya, kami akan tetap menjaga kejernihan pikiran dan orientasi yang tak terpadamkan. Kami merasakan betul kekuatan-kekuatan kreatif hasir bersama kami, memberikan panduan bagi masa depan. Sudah hadir bersama-sama kami, bahkan lebih banyak dari yang nampak di permukaan. Esok akan menunjukan, bahwa kita lebih besar dari hari ini. Dan esok lusa, jutaan kawan akan bangkit, tegak bersama di bawah panji-panji kita. Jutaan kawan buruh -- bahkan setelah 67 tahun sejak kelahiran manifesto komunis -- akan bangkit berjuang. Seberat apapun tekanan yang akan menimpa … Mereka tidak akan kehilangan apa-apa, selain mata rantai yang membelenggunya (Trotsky, Perihal Perang dan Internasional, Halaman 76-77).

Terdorong oleh gagasan-gagasan ini, kaum sosialis revolusioner memanggul ke muka, perjuangan bagi internasionalisme, dari tahun 1914 s/d 1917. Sejarah memulihkan kembali keharuman nama baik mereka, dalam Revolusi Oktober 1917. Kejayaan inilah yang menghantarkan syarat-syarat bagi penegakkan kembali Internasional Ketiga.

Tentang Penulis:
George Novack (1906-1992) menjadi seorang Marxis di awal 1930-an. Novack bergabung dengan Liga Komunis Amerika / Communist League of America (yang beraliran Trotskys). Liga ini merupakan pendahulu SWP /Socialist Workers Party (Partai Pekerja Sosialis). Ia menjadi anggota komite Nasional SWP dari tahun 1940s/d 1972. Novack juga menghasilkan berbagai tulisan dengan tema tentang filsafat dan sejarah.

(jilid III) GEORGE NOVACK - SEJARAH INTERNASIONAL PERTAMA DAN INTERNASIONAL KEDUA

Bab III : Menjangkitnya Oportunisme dalam Sosialis Internasional (1904-1914)

Kongres Amsterdam tahun 1904 dan revolusi Rusia tahun 1905 adalah dua puncak semangat revolusioner dalam sejarah internasional kedua. Kongres tersebut menandai kemenangan Marxisme atas ide-ide sayap kanan kaum revisionis. Juga kemengan cita-cita kaum proletarian terhadap upaya-upaya penggiringan buruh yang terorganisir ke arah demokrasi parlementer. Kemenangan taktik yang berbasiskan perjuangan klas yang tegar, atas taktik yang berbasiskan oportunisme dan reformisme sosialis. Pendeknya, kemenangan semangat proletarian atas pengaruh-pengaruh borjuis kecil di dalam internasional kedua.

Revolusi Rusia tahun 1905 menjadi saksi atas program dan semangat ini, yang memandu aksi pengerahan massa secara besar-besaran. Harap di ingat sejak di pukulnya komune Paris tahun 1871, di Eropa tidak pernah ada lagi gejolak revolusioner dalam skala besar, selama sekitar tiga puluh lima tahun terakhir. Sekarang , justru di kekaisaran Tsar yang terbelakang, yang merupakan negeri yang paling reaksioner di Eropa … dengan sebuah rejim absolut yang menindas lembaga-lembaga demokrasi, memburu-buru kaum sosialis dan gerakan buruh… justru segenap rakyat Rusia yang tertindaslah yang mulai bergerak lebih dulu di Eropa; terutama setelah kekalahan menyakitkan yang di alami Rusia dalam perang Rusia- Jepang. Adalah klas buruh Rusia yang masih muda, yang berdiri paling depan dalam barisan massa rakyat; dan ini semua di pandu oleh kaum sosial Demokratik Rusia.

Dalam sebuah kuliah tentang revolusi 1905 (yang di berikan Lenin dalam dalam pembuangan di Swiss, satu bulan sebelum pecahnya revolusi tahun 1917) Lenin mengamati:
 
Sebelum 22 Januari 1905 partai revolusioner Rusia belum memiliki keanggotaan secara luas … saat itu kaum reformis menyebut kita sebuah "sekte" (kelompok kecil). Seratusan organiser revolusioner, sekian ribu anggota organisas lokal, setengah lusin koran revolusiner yang terbit tidak lebih dari sekali bulan (material-material/ koran ini biasanya di terbitkan di luar negerri dan di selundupkan ke Rusia dengan kesukaran luar biasa; dan dengan bayaran pengorbanan yang tidak kecil.) Seperti itulah partai-partai yang revolusioner dan khususnya Partai Sosial Demokrasi Rusia, sebelum 22 Januari 1905. Kondisi seperti itu membuat kaum reformis yang picik dan pongah, mengeluarkan justifikasi (pembenaran) Revolusi Rusia adalah peristiwa besar pertama yang membawa hembusan segar dalam atmosfir Eropa yang pengap/membosankan, selama 35 tahun terakhir sejak komune Paris. Perkembangan cepat dalam klas buruh Rusia, dan kekuatan tak terbayangkan dari pemusatan sktifitas revolusioner mereka….menghasilkan kesan yang mendalam bagi dunia dan dimana-mana menghasilkan menih yang mempertajam perbedaan-perbedaan politik. Di Inggris, revolusi telah mempercepat pembentukan partai buruh independen. Di Austria terjadi desakan-desakan yang kuat untuk menegakkan hak-hak politik rakyat. Di Perancis, gaung revolusi Rusia ( mengambil bentuk dalam gerakan sindikalisme) … memberikan pencerahan pada tingkat praktek dan teori … bagi terbangunnya kecendrungan revolusioner proletariat Perancis . Di Jerman revolusi Rusia menunjukan pengaruhnya dalam penguatan buruh dalan sayap Kiri partai; menyeret mayoritas kaum tengah ke Kiri . Menghasilkan penyingkiran kaum revisionis (Kanan). Sehingga secara prinsip partai menetapkan metode revolusioner dalam aksi-aksipemogokan umum. (Perang dan Internasional , halaman 61).

Pemberontakan besar tahun 1905 juga meninggalkan jejak yang mendalam, di seluruh Asia dan merangsang revolusi-revolusi melawan kekuatan kolonial di Turki, Persia dan China.

Betapapun revolusi itu di pukul balik dengan sangat keras. Kekalahan revolusi dan kemenangan kekuatan kontra revolusi; telah mendorong berlangsungnya periode reksi yang berkepanjangan , hal ini bukan hanya berlangsung di Rusia, namun juga ditiap penjuru Eropa. Trotsky menggambarkan kemunduruan politik tersebut sebagai berikut:

Di Rusia kekuatan kontra revolusi menang . dan bersamaan dengan ini dimulailah periode kemunduran dalam proletariat Rusia; kemunduran kekuatan, baik secara politik maupun organisasi di Austria , jalinan-jalinan kemajuan uang telah di capai oleh klas buruh terpotong-putus. Tuntutan bagi pengesahan jaminan sosial untuk rakyat banyak, terbengkalai di kantor-kantor pemerintah. Tuntutan-tuntutan bagi hak-hak politk universal terpuruk dalam kepentingan kaum nasionalis belaka; semua ini bermuara pada semakin melemah dan terpecahnya kekuatan Sosial Demokrasi. Di Inggris, setelah sekian lama Partai Buruh melepaskan diri dari Partai Liberal , belakangan ini mulai menjalim hubungan kembali. Di Perancis, kaum sindikalis menyerah pada posisi kaum reformis . Dalam waktu yang singkat Gustave Harve memutar balik ketetapan yang diambil sendiri. Di Jerman sendiri , kaum revisionis dalam tubuh partai Sosial Demokrasi, mengangkat kembali kepala mereka dengan pongahnya. Kaum Marxis dipaksa untuk merubah taktik mereka dari taktik ofensif menjadi taktik defensif. Upaya-upaya kaum kiri dalam mengarahkan partai-partai untuk mengambil kebijakan yang lebih aktif , tidak membuahkan hasil. Kaum tengah makin bergerak ke arah kanan, smbil mengepung akum radikal/kiri. Kekuatan-kekuatan konservatif menarik nafas lega atas kekalahan revolusi 1905 (Perang dan Revolusi, halaman 63).

Dalam kuliah- kuliah (sebagaimana yang telah disbutkan di muka) Lenin menegaskan ,"bahwa revolusi Rusia 1905, dikarenakan watak proletariatnya … adalah merupakan prolog (pendahuluan), bagi kedatangan revolusi Eropa " (Karya-Karya Terseleksi Lenin, Volume 23, Halaman 252). Pandangan jernih yang tajam ini -ketika itu- di akui juga oleh Kautsky. Namun pandangan itu tidak menjadi pandangan yang dominan dikalangan pemimpin-pemimpin Internasional Kedua; sehingga tidak pernah di pakai sebagai sebuah panduan strategi (terutama pada tahun 1904-19914). Para pemimpin Internasional Kedua tersebut, bekerja dengan menggunakan cara pandang dan analisis yang berbeda. Walau tidak di akui secara terbuka, sesungguhnya cara pandang kaum reformis

Apa sajakah premis-premis (landasan argumen) mereka? Kini mereka percaya bahwa kapitalisme akan tetap berlanjut bertahan sampai dengan mas depan yang tak terbatas. Seperti yang sudah hidup di bawah kondisi kolonial. Keuntungan luar biasa yang ditumpuk dan akumulasi oleh penguasa-penguasa kapitalis, memungkinkan negeri-negeri besar tersebut… (selama masa 'naik daunnya' kapitalisme global) … memiliki kemampuan untuk memberikan lapisan buruh sedikit remah-remah ( sisa-sisa makanan) yang tercecer dari mejan makan majikan besar mereka yang rakus. Lapisan buruh yang menikmati hal- hak istimewa inilah yang merupakan aristokrat-aristokrat buruh mereka; lazimnya membentuk partai buruh yang besar dan mapan , ataupun juga serikat-serikat buruh yang birokratis.

Pimpinan-pimpinan partai buruh mapan maupun serikat buruh birokratis tersebut biasanya memilih jalan parlementer; dan menjadi penganjur-penganjur utama bagi kampanye pengambilan jalan damai, gampangan dan hidup berdampingan secara 'berbudaya'. Mereka tidak bertindak, berpikir dan merasakan -sebagaimana seharusnya perwakilan klas yang tertindas- namun, lebih mirip penjaga-penjaga toko borjuis kecil, majikan-majikan kecil, guru-guru sekolahan… bersamaan dengan semakin kentalnya kecendrungan borjuis mereka - orang-orang mapan tersebut juga menjadi semakin terisolasi (terasingkan) - dari penderitaan, kesukaran-kesukaran hidup maupun aspirasi massa rakyat. Mereka juga sudah tidak merasa penting untuk memintakan pertanggungjawaban majikan mereka, apalagi melawannya.

Kaum borjuis kecil bersikap sama terhadap rakyat tanah jajahan (daerah-daerah kolonial) . Sungguhpun mereka tahu betul bahwa --hasil-hasil bumi--, kenyamanan penghidupan, standar penghidupan yang lebih tinggi, hak-hak istimewa yang mereka kecap - sebagian besar dihasilkan dari penghisapan atas rakyat-rakyat tanah jajahan. Dengan dinginnya mereka membiarkan begitu saja pengambilalihan daerah-daerah koloni… mereka juga tidak mempedulikan kekerasan, penindasan, maupun kemorosaotan penghidupan yang menimpa rakyat tanah jajahan. Sekali lagi mereka memilih bungkam terhadap proses perbudakan yang berlangsugn bersamaan dengan kebijaksanaan dan praktek-praktek kolonial maupun imprealis. Sama sekali tak terlintas dalam mereka, perihal keharusan untuk memblejeti praktek-praktek tersebut di atas ; dalam rangka mendidik kaum buruh. Dengan membangkitkan keadaran klasnya, dan membangun ikatan solidaritan/persaudaraan antar klas buruh dari negeri-negeri yang paling terinjak-injak.

Sebagai konsekwensi logisnya , kaum sayap kanan dalam gerakan buruh, justru menjalin aliansi dengan borjuasi pribumi, untuk menindas rakyat di tanah jajahan (khusunya klas buruh di perkotaan atau di pinggiran kota ) . Ternyata praktek kolaborasi klas (kerja sama antar klas) inilah yang pakai untuk menggantikan perjuangan klas yang konsisten; dan inipulalah yang menjadi akar oportunisme . Lenin menggambarkan hal ini sebagai," pengorbanan atas kepentingan fundamental massa klas buruh, demi kepentingan-kepentingan sesaat minoritas kaum buruh (yang tak penting) . Atau dengan lain perkataan aliansi sebagian kecil kaum buruh dengan kaum borjuis, untuk menindas massa proletariat.

Ada empat yang persoalan yang menandai petumbuhan elemen-elemen kanan kaum oportunis , terhitung sejak tahun 1906 sampai dengan tahun 1914; di internasional kedua. Yang pertama dan paling utama adalah dalam menghadapi persoalan kolonial.

Pada kongres di Stuttgart yang tahhun 1907, kaum sayap kiri menyerukan perjuangan yang prinsip bagi kebijakan sosialis yang sejati. Dengan demikian sebagai konsekuensi, kaum kiri menentang tiap penaklukan, praktek-praktek perhambaan, pemerkosaan, panjarahan yang menjadi ciri khas dalam operasi-operasi kolonial kekuatan-kekuatan imprealis.

Kaum oportunis yang di pimpin oleh serikat-serikat buruh Jerman, menentang tiap upaya untuk melawan kekuatan-kekuatan imprealis . Mereka cenderung memilih untuk beradaptasi/ menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan imprealis tersebut. Seorang delegasi Jerman bernama Eduard David, berargumentasi: Karena kebijakan dan penindasa kolonial adalah sesuatu yang tak terhindarkan di bawah kapitalisme ; maka kaum sosial demokrasi tidak perlu melakukan perlawanan atasnya. Yang perlu dilakukan kaum Sosial-Demokrasi adalah berjuang bagi perbaikan-perbaikan kondisi kerja penduduk pribumi di tanah jajahan. Ringkasnya Eduard David mau mengatakan, bahwa perjuangan yang perlu dilakukan bukannya untuk mengakhiri perbudakan; namun untuk memperbaiki kondisi- kondisi perbudakan.

Barnstein juga berpendapat, bahwa masyarakat memang dapat di bagi dalam dua kategori: kaum penguasa dan kaum yang dikuasai. Bagian tertentu dalam masyarakat memang sepeti kanak-kanak, yang selalu harus di bimbing , dan tidak sanggup mengembangkan diri mereka sendiri. Sehingga kebijakan kolonial --menurutnya - adalahg sesuat yang tak bisa di elakan, bahkan di bawah tatanan sosialisme sekalipun. Bagi idiologi-idiologi (palsu) tersebut bangsanya sendirilah yang paling beradab, dan memang terlahirkan sebagai " bangsa yang di pertuan" ( dan tidak mungkin terjadi sebaliknya sebagai bangsa yang di perbudak).

Kongres menyelenggarakan pemungutan suara (voting) sehubungan dengan 'persoalan kolonial' ini. Dan hasilnya adalah kaum revisionis memperoleh 127 suara, sedangkan kaum oportunis 108 suara, sisa 10 suara menyatakan abstain (tidak memilih). Semua kaum sosialis Rusia yang yang hadir dalam kongres memilih dengan semangat revolusioner; sementara mayoritas pimpinan serikat-serikat buruh Jerman mendukung kaum oprtunis. Pilihan-pilihan yang mereka ambil ini sudah merupakan isyarat tersendiri, yang akan terbukti nanti dalam sejarah.

Perdebatan kedua adalah mengenai kebijakan imigrasi. Seorang delegasi Amerika berpendapat bahwa Internasional seharusnya mengeluarkan tuntutan bagi pemberlakuan Undang-undang yang membatasi masuknya kaum buruh-buruh berkulit kuning ke "negeri-negeri beradab". Yang hakikatnya adalah usulan untuk membangun tembok pemisah antara klas buruh di Asia dengan yang tinggal di Amerika /Eropa; lewat sebuah perundang-undangan kapitalis. Cara pandang semacam initelah menjadi semacam tradisi dalam kebijakan buruh Amerika, yang masih berlaku sampai hari ini.

Perdebatan ketiga yang lebih penting , adalah menyangkut hubungan antar partai-partai sosialis dengan serikat-serikat buruh. Di satu pihak, ada kecendrungan bahwa para pimpinan serikat buruh, merasa nyaman dengan hak-hak istimewayang dimilinya; sambil 'membina' kaum buruh yang masih terbelakang. Mereka inilah yang menentang dan berusaha melepaskan diri dari segala bentuk kontrol/pengawasan politik; yang lazim bagi sebuah partai yang menggunalkan metode perjuangan klas. Karenanya orang-orang tersebut senantiasa menyerukan 'netralitas' serikat buruh, sehubungan dengan program-program ataupun aktifitas -aktifitas partai sosialis. Harap di catat bahwa lahan subur bagi pertumbuhan oportunisme dan arah gerak ke kanandalam internasionale kedua , justru di pelopori oleh serikat-serikat buruh.

Memang kita pahami benar bahwa otonomi organisasional bagi serikat-serikat buruh adalah sebuah keharusan. Namun independensi total bagi serikat-serikat buruh adalah sebuah keharusan. Namun independensi total bagi serikat-serikat buruh dalam praktek dan kebijakan adalah sesuatu yang mustahil. Mengingat bahwa dalam peta pertarungan kekuasaan politik , serikat-serikat buruh tersebut hanya punyta dua pilihan : jatuh ke bawah cengkeraman kapitalis dan pemerintahannya, atau berjuang bersama kaum oposisi/penentang klas kapitalis, yakni bersama massa proletariat. Sehingga kita tidak mengenal 'jalan tengah' dalam menghadapi persoalan diatas dengan melakukan pemisahan antara perjuangan politik dengan perjuangan ekonomi, kaum sayap kanan hanya menginginkan mendapatkan pengesahan atas oportunisme mereka.

Dalam kongres di Stuttgart tersebut, keinginan-keinginan atas 'netralitas' serikat-serikat buruh berhasil diselesaikan oleh kaum revolusionis yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip fundamental Marxime. Mengenai hal ini Clara Zetkin menuliskan catatannya sebagai berikut, " Kini secara prinsip, tidak ada lagi suara-suara yang mempertanyakan kecendrungan historis yang poko dari perjuangan klas proletar; untuk mempersatukan pengorganisasian kerja-kerja ekonomi dan politik seerat mungkin, dalam sebuah klas buruh sosialis" (dikutip dari Karya-Karya Terkoleksi Lenin , Volume 13, Halaman 89).

Komentar Lenin sendiri atas perdebatan tersebut: "Sambil menjalani proses pentahapan dan hubungan timbal balik yang yang tak terelakan (antara partai revolusioner dengan serikat buruh --penerjemah)… Dengan tidak mengambil langkah-langkah yang gegabah/tak bijaksana… Kita harus bekerja bekerja secara konsisten dengan serikat-serikat buruh, dlam rangka memandu mereka ke arah yang lebih dekat dengan Partai Sosial Demokratik" (Karya-Karya Terkoleksi Lenin, Volume 13, Halaman 89).

Problem mengenai hubungan antara partai pelopor (Vanguard party) dengan proletriatnya sebagaimana seharusnya, dikaitkan dengan hubungan antara serikat buruh yang mencerminkan proletariat sebagaimana seadanya (betapapun kurang maksimalnya) … adalah salah satu persoalan penting dalam khasanah revolusioner Marxisme. Hal ini juga sekaligus merupakan problem yang paling sukar untuk di tangani di tingkat praktek.

Hubungan-hubungan ini tidak hanya memiliki perbedaan-perbedaan di negeri-negeri yang berlainan ; namun hubungan ini bahkan telah memiliki perbedaan-perbedaan dalam tingkatan-tingkatan perkembangannya, di negeri yang sama. Pergerakan serikat buruh telah menjadi saksi bagi terjadinya dua macam hubungan yang mewakili dua kubu yang berbeda. Di Jerman dan Rusia pada umumnya, Partai Sosial Demokrasi-lah yang mengambil inisiatif dalam membentuk dan memipimpin organisasi serikat-serikat buruh. Bagi Inggris dan Amerika Serikat --dilain pihak-- gerakan sosialis dengan gerakan serikat-srikat buruh dilahirkan dan berkembang secara terpisah bahkan saling bertentangan satu sama lain.

Kaum sindikalis yang cukup berpengaruh di Perancis dan Spanyol, jug amenentang segala kaitan/hubungan antara serikat buruh dengan partai politik klas buruh.

Belakangan -di beberapa negeri imprealis utama- seperti Inggris dan juga Kanada,… pergerakan politik di awali kebangkitan dari serikat-serikat buruh. Dan secara bertahap melebur dengan partai pelopor, dalam bentuk partai-partai buruh … (dengan ataupun tanpa program/idiologi sosialis yang dinyatakan secara terbuka) .

Dengan variasi peluang/ kemungkinan yang begitu beragam -dari dua kubu besar tadi- nampaknya tidak akan ada satu formula yang final/absolut, untuk menentukan hubungan hubungan antara pergerakan ekonomi dan politik kaum buruh. Apakah pilihan terbaik yang perlu diambil -dalam tahapan perkembangan tertentu- sangat tergantung pada keseluruhan faktor politis historis yang kompleks.

Betapapun, ada satu pertimbangan yang akan tetap konsisten bagi kaum Marxis. Yaitu soal peranan politik yang dinilai lebih menentukan/lebih penting dibandingkan peran ekonomi (yang secara organisasional tercerminkan dalam peranan partai atas urusan-urusan serikat-serikat buruh). "Politik" demikian ungkap Trotsky, " Adalah pencerminan umum yang terfokus, yang berangkat dari persoalan-persoalan ekonomi".

Trotsky menggambarkan tujuan ideal atas hubungan (partai dan serikat buruh), sebagai berikut: Partai - kalau memang cukup berharga untuk disebut demikian- mencakup keseluruhan pelopor klas buruh. Partai menggunakan pengaruh pengaruh idiologisnya, untuk membangun tiap 'cabang' dari pergerakan buruh menghasilkan buah (khusunya bagi gerakan serikat buruh). Namun kalau serikat-serikat buruh juga hendak benar-benar dianggap cukup berharga … serikat-serikat buruh itu juga harus merangkul massa buruh yang terus tumbuh berkembang, meliputi juga elemen-elemen buruh yang belum maju. Sehingga mereka (serikat-serikat buruh) baru akan menuntaskan tugas mereka, ketika berhasil memandu buruh-buruh tersebut, secara sadar denagn prinsip-prinsip yang fundamental. Dan mereka hanya akan meraih kepemimpinan semacam ini, bila elemen-elemen terbaik dari buruh-buruh tersebut telah dipersatukan didalam partai proletariat yang revolusioner" (tulisan Leon Trotsky mengenai serikat-serikat buruh, halaman 12) Internasional Kedua memang sudah cukup baik dalam menyerukkan hal diatas, sayang sekali masih kurang cukup dalam meyadari sepenuh-penuhnya.

Sementara itu, kekuatan-kekuatan utama di Eropa telah terlibat dalam manuver-manuver diplomatik dan berpacu dalam perlombaan senjata, yang akan memuncak dalam perang tujuh tahun kemudian… Dengan demikian dalam rangka mengantisipasi persipan tersebut di ata, kaum sosialis memberikan porsi yang sentral dalam kongres Internasional kedua di Stuttgart.

Ada tiga posisi klasik yang mengedepan pada kongres internasional kedua di Stuttgart tersebut … cara pandang oportunistik diwakili oleh georg Vollmar (seorang pemimpin sayap kanan dari Partai Sosial Demokrasi Jerman). Vollmar secara terbuka menolak prinsip-prinsip revolusioner proletariat, dan malah berkhotbah tentang petriotisme bagi 'tanah air' (baca : membela negeri jerman yang kapitalistik). Bukanlah tanpa alasam bila kita menelusuri akar perkembangan teori sosialisme di satu negeri ;dalam pernyataan Vollmar ini Vollmar menyatakan :" Tidak benar kalau ada yang mengatakan bahwa kita tidak memiliki air. Segala kecintaan kita akan kemanusiaan, tidak dapatr menghindarkan kita untuk menjadi orang-orang Jerman yang baik… Kami berpendapat bahwa prpaganda anti militer bukan saja tidak benar dari sudut pandang teori, tapi juga sama sekali berbahaya secara prinsip".

Dari sudut pandang yang sama sekali bertolak belakang belakang dengan yang diatas; seorang Perancis yang bernama Herve, mewakili posisi kaum ultra kiri. Herve berpendapat bahwa tiap peperangan dapat diantisipasi dengan aksi pemogokan buruh besar besaran, yang diikuti dengan pemberontakan. Menurut Lenin, Herve telah melupakan, " Bahwa penggunaan atas suatu alat/sarana (maupun sarana-sarana lainnya), dalam perjuangan ( menghadapi perang) … sangat bergantung pada kondisi-kondisi obyektif dari krisis tersebut -secara ekonomi ataupun politik - yang dipercepat oleh perang tersebut. Sehingga bukanlah bergantung pada keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh kaum revolusioner " (Karya-Karya Terkoleksi Lenin, Volume 13, halaman 91).

Pengalaman yang telah menunjukan , bahwa aksi pemogokan umum (ditingkat nasional) adalah sesuatu yang mustahil pada saat pecahnya perang … ketika chauvinisme dan persatuan nasional sedang begitu memuncak. Ketika klas pemodal begitu kuat dan klas buruhnya masih sangat lemah. Menurut Lenin formula yang diusulkan oleh Herve adalah salah, karena, "tidak sanggup mengaitkan perang dengan rejim kapitalis secara keseluruhan ; dan juga agitasi anti milite rdengan kerja-kerja sosialisme secara keseluruhan " (dikutip dari Lenin, volume 13).

Kasus herve ini terutama sangat penting untuk mempertunjukan bagaimana semua seruan kaum borjuis kecil bagi avonturisme (petualngan) dai arah ultra kiri, dengan berjudi atas persoalan-persoalan sedemikian pentingnya, yang merupakan kebalikan ekstrim oportunisme … justru dapat merupakan sisi lain dari mata uang yang sama : sejarah mencatat bahwa Herve -si anti militer yang fanatik- menjadi patriot yang bebal pada tahun 1914.

Sayap Marxis dalam Internasional Kedua yang dipimpin oleh Lenin, Roxa Luksenburg dan Clara Zetkin memenangkan perdebatan (keempat) terakhir mengenai peperangan. Zetkin mengekspresikan momen tersebut sebagai berikut :" keberanian semangat dan energi revolusioner klas buruh dalam kapasitas tempurnya… berhasil memukul mundur keyakinan mandul yang digrenggam erat oleh orang-orang yang bersandar pada metode perjuangan parlementarian ; dan juga berhasil mengatasi kedangkalan cara pandang anti militeris kaum semi anarkis Perancis yang di kampanyekan oleh orang-orang seperti Herve " (Lenin, Volume 13, Halaman 92)

Kongres mengeluarkan kesimpulan yang ditetapkan dalam resolusi yang menyatakan bahwa peperangan, "adalah bagian yang tak terpisahkan dari Kapitalisme. Peperangan hanya bisa dihentikan ketika sistim kapitalisme itu sendiri di hapuskan …" Resolusi ini mengumandangkan seruan yang menolak segala pengeluaran untuk pembelian senjata dan juag bago propaganda anti militer , Dinyatakan pula bahwa sementara belum ada ketentuan umum "bentuk-bentuk baku dari aksi-aksi antimilitrer yang perlu dilakukan oleh klas buruh.( dalam mengantisipasi momen-momen ancaman perang… betapapun adalah tugas internasional kedua untuk "mengkordinasi dan meningkatkan upaya-upaya yang paling maksimal klas buruh dalam menghadapi peperangan". Sebagai tambahan, resolusi ini juga mengutip sejumlah contoh mengenai aksi anti perang oleh klas buruh yang cukup berhasil. Antara lain di sebutkan pula revolusi Rusia 1905 yang dipercepat oleh perang Rusia-Jepang. Bahaya ancaman tak langsung yang dapat mengarah ke revolusi, di jelaskan dalamn alinea penutup resolusi, yang di rancang bersama Rosa Luxemburg Lenin dan Martov:
 
"Bila sebuah perang nampaklnya akan meletus, adalah tugas klas buruh dan perwakilan-perwakilan parlementer mereka di negeri-negeri yang bersangkutan… Untuk mencurahkan dukungan ( dengan aktifitas-aktifitas yang di kordinasi dari kantor pusat sosialis Internasional) , dengan mengerahkan sgala upaya dal;am rangka mewncegah meletusnya perang. Juga dengan sarana apapun, yang paling efektif menurut mereka. Yang kesemuanya ini sangat bergantung pada penguatan perjuangan klas dan juga penajaman situasi politik secara umum".
 
Bila peperangan tersebut nampaknya tidak dapat di cegah dengan cara apapun juga. .. Maka adalah tugas klas buruh untuk melakukan intervensi (campur tangan). Kesemuanya ini dalam rangka untuk mendorng terjadinya percepatan, dan bersamaan dengan segenmap kekuatannya … Memanfaatkan krisis ekonomi dan politik (yang diciptaka oleh peperangan) untuk membangkitkan massa rakyat , agar memacu kejatuhan kekuasaan klas kapitalis " ( untuk teks selengkapnya dari resolusi , lihat Braunthal, hal 361-363).

Nampaknya bahwa dari ringkasan pertimbangan mauoun kettapan yang di buat dalam satu kongres internasional kedua di Stuttgart ( yang merupakan ciri khas bagi kongres-kongres lainnya sampai dengan tahun 1914)… Bahwa selain gangguan-gangguan yang di picu oleh kaum oportunis gagasan Marxis tetap bertahan di dalam tubuh Internasional kedua,. Penilaian semnacam ini akan keliru bila kita bila kita hanya melihat posisi-posisi formal yang diambil oleh orang-orang ( dilihat dari luar saja )… Sehubungan dengan situasi nyata yang melingkupi Internasional kedua.

Penampilan yang kontradiktif dari Internasional Kedua menjadi semakin nyata setelah kongres di Copenhagen tahun 1910. Dari tahun 1910 sampai dengan 1913 pergolakan sosial dan konflik-konflik klas yangtajam mengguncang hampir semua negeri. Para buruh tambang, buruh-buruh kereta rel api. Di Rusia buruh-buruh mesin dan buruh-buruh penambangan emas Di Amerika buruh-buruh perusahaan tekstil maupun penambangan. Ternyata kondisi-kondisi sosial ini malah bermuara pada gerakan reformasi, yang nenotong kebangkitan elan revolusioner.

Perjuangan nasionalis juga menyebar di Turki, di Timur Dekat, di China. Semua perkembangan domestik ini, berjalan erat dengan krisis-krisis di tingkat imternasioal: Insiden agadir yang memoicu bentrokan antara Perancis-Jerman di Maroko tahun 1911, Perang merebut Libya antara Turki-Italia, Perang Balkan pertama tahun 1912 dan lain-lain.

Inilah goncangan-goncangan yang menggoyahkan Eropa di tahun 1914. Namun sementara itu sentimen-sentimen nasionalisme, kekuatiran akan perubahan-perubahan drastis, keraguan atas daya kekautan klas buruh dan aliansi-aliansinya… mengakibatkan merebaknya kecendrungan-kecendrungan oportunis dan munafik, yang merupakan perpaduan yang pengecut dari oportunisme dari kaum tengah.

Pertumbuhan yang menular ini di dalam tubuh partai-partai sosial utama, ternyata memang sangat berbahaya. Mengakibatkan mandul dan runtuhnya Internasional kedua, sebagai sebuah kekuatan progresif .. padahal gejolak konflik perang dunia sudah mulai pecah tepat di hadapan mukanya.

TAILALAT - Pramoedya Ananta Toer

Tailalat

(Cerita ulang tahun untuk sahabat Bob Hering)

Pramoedya Ananta Toer

Ada sidikjari, tapi jarang disebut tentang sidikwajah.  Dan tailalat tak lain dari bagian sidikmuka.  Yang akan kuceritakan padamu bukan tailalat tunggal, tapi kembar, simetrik mengapit batang hidung.  Dan itulah satu-satunya yang pernah kulihat dalam hidupku.  Awal tahun 1946.

Sebagai pembantu-letnan aku mendapat perintah mengerahkan seksiku menyambut kedatangan serombongan tamu.  Di stasiun Cikampek.  Hari, tanggal, dan bulan, sudah tak dapat kuingat, setidak-tidaknya sekitar jam 10 pagi.

Keretapi dari Jakarta masuk.  Tak ada rombongan tamu yang turun berbondong dari kereta api.  Penumpang-penumpang lain turun dan segera meninggalkan perron.  Seorang-dua turun, berdiri tenang-tenang di samping gerbong.  Salah seorang kudekati.  Nah, itulah, tailalat kembar mengapit batang hidungnya, hidung pribumi asli.

“Dari Jakarta, Pak?”, ia hanya tersenyum manis.  “Mau ke mana?”

“Yogya.”

“Dalam rombongan?”

“Tidak salah.”

“Tujuan?” ia awasi senjatapi pada pinggangku, mengangguk-angguk, kemudian menepuk-nepuk punggungku.

“Indah ya, sangat indah, usia muda, semua bisa menangani,” ia mengangguk-angguk ria, “bagus, teruskan apa yang telah kami gagal melakukan.  Dulu.”

“Apa yang telah gagal Bapak lakukan?”

“Berontak untuk merdeka.  Dan kalian, anak-anak muda, sudah bikin tanahair ini merdeka.  Tinggal mempertahankan dan mengisinya.”

Mendadak ia menyerang aku dengan pelukan dan ciuman.  Keramahannya lenyap.  Kurasai airmata menetesi wajahku.  Peluit kepala setasiun mengatasi suara hiruk-pikuk setasiun.

“Kami dari rombongan Digulis, dari Australia.  Selamat, nak, selamat, kita akan bertemu di tempat lain.”

Ia ciumi lagi aku.  Menepuk bahuku, dan melompat naik ke dalam gerbong.  Kereta berangkat.  Belum lagi sempat kuketahui namanya....

Kembali ke markas resimen kulaporkan, tugas telah selesai kulakukan.  Mayorku bangkit dari kursi, melotot, hanya tidak membentak:

“Goblok.  Tugas segampang itu tidak mampu kau lakukan.  Belajar kau menghargai para pejuang.  Selesai!”

Setelah memberi hormat dan balik-kanan-jalan terdengar bentakan dalam diriku sendiri:  Goblok!  Sebelumnya tak kau katakan, kan, siapa mereka?  Tempat tujuan juga bukan Cikampek, kan?  Yogya!  Ai, bapak tailalat kembar.

Dua puluh tahun telah lewat.  Sekarang bukan di medan bebas, apalagi mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.  Sekarang di rutan, rumah tahanan.  Salemba di Jakarta.

Sekali di bulan November 1966 datang rombongan tahanan baru, pindahan dari penjara Cipinang, Jakarta juga.  Barang tujuh orang.  Ha?  Salah seorang bertailalat kembar, mengapit batang hidung.  Dia?  Tak semudah itu menjawab tekateki itu.  Pribadi dan rombongan baru harus menjalani kucilan.  Sampai berapa hari atau minggu, itu tergantung para penguasa penjara.  Nyatanya ia dan rombongannya mendekam di blok E, blok hukuman untuk tapol.  Dari blok K, tempatku dikurung, setiap hari kulihat ia dan rombongannya digiring keluar blok E ke ruang pemeriksaan.  Bila balik ke bloknya ada saja di antara mereka yang terpincang-pincang, atau dipapah, atau dengan muka lebam, atau mencekam bagian-bagian tubuh yang habis jadi landasan benda tumpul.  Dan si tailalat kembar?  Sekali waktu terlihat ia kembali ke blok dengan menyeret kaki kanannya.  Pemandangan biasa.

Berapa umurnya?  Dalam duapuluh tahun belakangan ini memang ada sejumlah tulisan tentang Digul yang kubaca.  Jadi kuperkirakan ia dibuang ke Digul dan Australia selama 13 tahun, jadi 43 usianya.  Ditambah dengan 20 tahun masa kemerdekaan nasional dan ketiadaan kemerdekaan pribadi sekarang jadi 63 tahun.  Patut kalau kekuatannya tidak seutuh tahun 1946 dulu.

Tetap tidak semudah itu menemuinya.  Memang semua tapol berhimpun sewaktu appel.  Barisan-barisan yang disusun menurut blok masing-masing membuat orang sulit dapat bertemu dengan orang dari blok lain.  Setelah appel selesai barisan kembali ke blok masing-masing.

Sebulan kemudian ia dipindahkan dari blok E ke blok L, bersebelahan dengan blokku.  Tiga hari kemudian masih juga tak dapat aku bicara dengannya.  Pada hari keempat ia meninggalkan blok L menuju ke ruang pemeriksaan.

Sengaja aku tunggu ia pulang.  Umur 63 tahun.  Dan penganiayaan apa lagi harus ia deritakan?

Ha?  Ia pulang ke blok tanpa cedera.  Wajahnya ceria, dan, tersenyum panjang, mata nyapu tanah.  Sebelum memasuki blok ia tebarkan pandang ke seluruh dan semua blok yang mengelilingi tanah lapang penjara.

Ha?  Seorang petugas datang ke bloknya dan membawanya ke kantor pimpinan penjara.  Dan sejak itu ia tak pernah kelihatan lagi.  Pindah ke penjara lain?  Mungkin dibebaskan karena usianya yang sudah lanjut.  Mungkin....  Nyatanya tidak.  Seorang tapol blok L yang dipindahkan ke blok K jadi saksi karena ia termasuk rombongan yang dipindahkan kemari dari penjara Cipinang.

Si tailalat kembar punya pendapat:  ia tak punya kepercayaan pada daya administrasi tuan-tuan baru ini.  Ia hendak menguji ketidakpercayaannya.  Setelah dipindahkan ke blok L, waktu selesai appel, ia minta pada petugas supaya diinterogasi, karena, katanya, ia belum pernah diperiksa selama ini.  Itu sebabnya ia keluar dari bloknya, sendirian, ke ruang permeriksaan.  Di sana ia menggunakan nama lain, dan, mengaku pekerjaannya mencari beling di sampahan.  (Waktu itu belum dipergunakan kata: pemulung).  Ia lulus ujian:  punya nama lain dan bebas.

Setelah itu tak ada kabar-beritanya.  Seluruh dan semua tapol sibuk dengan kelaparan masing-masing.  Tanpa diduga ulah si tailalat membangkitkan inspirasi pada tapol-tapol muda lain.  Dengan diam-diam tentu.  Dan, tiga tapol muda suatu hari lolos melarikan diri.  Seorang di antaranya nampaknya anak Jakarta yang tak pernah keluar dari kotanya.  Ia kedapatan sedang nongkrong di pinggir jalan raya menjajakan durian dalam dua keranjang bambu.  Tertangkap, dan masuk lagi ke rutan Salemba.  Tentu saja setelah melewati penganiayaan.  Beberapa lainnya yang dipindahkan ke penjara di Tangerang, juga melarikan diri dan tak pernah tertangkap.

Kemudian seorang lagi melarikan diri melalui gorong-gorong.  Waktu selnya diperiksa kedapatan beberapa lembar kertas bertuliskan tangan.  Karena soalnya tulisan aku yang dipanggil untuk menjalani pemeriksaan.

Tulis apa saja maunya, perintah petugas di kantor pimpinan rutan.  Ia berikan beberapa lembar kertas dan ballpoint.  Aku menulis apa saja.  Tulisan tegak, perintahnya.  Waktu ia datang lagi perintahnya berubah:  tulisan miring.  Setelah itu:  tulisan bebas.  Dan akhirnya:  cukup!  Aku boleh kembali ke blok.  Tidak ada apa-apa lagi.  Artinya:  miring, tegak, atau pun bebas, tulisan yang tertinggal di sel pelarian itu tak ada kesamaannya dengan tulisan tanganku.

Juli 1969 tapol Salemba dipindahkan ke Nusa Kambangan.  Sebulan kemudian dikapalkan ke Buru.  Dalam kapal para tapol dari seluruh penjara di Jawa dapat bertemu dan berkenalan.  Seorang dari Pacitan nampaknuya berminat untuk berkenalan.  Sidikwajahnya bukan tailalat.  Hanya garis lurus dari ujung atas telinga sampai dagu.  Bekas sayatan senjata tajam.  Yang seperti itu bukan sesuatu untuk dibicarakan manusia tapol-nya tuan-tuan baru.  Setiap orang telah diberi ijasah bekas luka.  Dalam masa kerjapaksa di Buru ia menempati Unit I, aku III.  Jadi hanya sekali-dua kami dapat bertemu sampai 1978 atau 9 tahun kerjapaksa.  Pada tahun itu ia dibebaskan.  Dan karena sidikwajahnya ia tidak memilih Pacitan sebagai tempat tinggal, tapi Jakarta.

Tiga tahun setelah aku sendiri dibebaskan dari Buru pada 1979 akhir tanpa kuduga aku bertemu dengan teman dari Pacitan itu.  Sekitar hampir jam 5 pagi.  Jalan-jalan masih senyap.  Yang lalu-lalang hanya sejumlah pelari pagi, termasuk tubuhku.  Seorang pemulung sedang duduk di bangku beton menghadapi keranjang sampahnya.  Ia tersenyum ramah waktu kudekati.  Dan kata-katanya yang mengiris jantungku terdengar.

“Maaf, untuk orang seperti aku ini tidak memerlukan lari pagi.”

Ia harus kerja maka pembicaraan panjang membuatnya gelisah.  Dan ternyata ia tinggal di ladang sampah Jalan Raya Pramuka.  Sebuah kotak triplek dan seng adalah rumahnya, ditinggalinya bersama seorang kakek, juga pemulung.  Hanya beberapa ratus meter dari halte bus tempat kami bercengkerama.

“Kakek lebih siang berangkatnya.  Jera digonggong dan disalaki anjing dalam kesepian subuh.  Tahu apa dia bilang tentang anjing Jakarta?  Kesadaran klasnya cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari tuannya, semua para tuan.”

“Dia bekas tapol?”

“Ya, tapol Salemba, katanya.  Lolos pada tahun kedua, katanya.”

“Hari libur sajalah,” kataku.  Aku sodorkan uang penggantinya.

Ia nampak agak tenang.  Memang tak kutunggu ucapan terima kasihnya yang memang tak pernah ia ucapkan.

“Ia juga dari Pacitan?”

“Bukan, Kebumen.”

“Siapa namanya?”

“Namanya tidak penting.  Jangan dibikin dia jadi lebih sulit lagi.  Lebih dari tiga perempat hidupnya dia jadi sasaran penindasan.”

“Kalau tertindas lebih dari tiga perempat hidupnya artinya dia bekas Digulis.”

Ia pura-pura tidak dengar.

“Mari sarapan di rumahku.”

“Terimakasih banyak.  Lebih baik jangan.”

“Atau kita ke rumahmu?  Kan dekat saja?”

“Perjanjian antar kami, aku dan kakek:  tidak menerima tamu siapa pun.”

“Mengerti, mengerti.  Kalian memang perlu mencurigai siapa pun.”

“Jangankan orang-orang seperti kami.  Pemuda-pemuda yang menyorong kemungkinan Proklamasi saja, di mana mereka semua sekarang?  Hanya satu saja yang lolos, pernah jadi wakil presiden pula.  Dan proklamatornya sendiri, bagaimana pula nasibnya?”

Ia keluarkan uang pemberian dari saku, menghitungnya, dan separoh ia kembalikan.

“Silakan teruskan lari pagi.”

“Satu pertanyaan lagi:  apa si kakek punya tailalat di kiri dan kanan batang hidungnya?”

Dalam keremangan subuh nampak ia melotot, suaranya parau:  “Jadi bung kenal dia?  Maaf saja, lupakan pertemuan ini.  Anggap tak pernah terjadi.”

Ia bangkit dan pergi dengan keranjang sampah dari bambu tergantung di belakang punggung.

Tepat jam 10 pagi setelah membaca koran dan menyelesaikan kerja kliping, aku bergegas setengah lari ke ladang sampah jalan raya Pramuka.  Ada beberapa kotak triplek dan seng.  Satu di antaranya dalam keadaan terbalik.  Sikap teman Pacitan itu memberi petunjuk, kotak terbalik itulah rumahnya bersama si kakek.  Mereka memang tak mau ditemui dan dikenal.

Dia tak ingin dikenal oleh siapa pun.  Baiklah.  Maafkan aku.  Dan tidak lebih dari sebulan kemudian lewat di depan rumahku seorang pemulung muda, dengan keranjang bambu pada punggung dan besi beton pembalik sampah pada tangan kanannya.  Ia berjalan bimbang dengan pandangan menyisiri pinggiran jalan tempat parade tong dan kotak sampah pemukiman.  Lain dari para pemulung lain ia berpakaian sobek-sobek dan dekil.  Buru-buru aku masuk rumah, mengambil keranjang tempat pakaian bekas dan kuberikan padanya.

“Terimakasih,” ia membungkuk dan pergi membawa keranjang tsb.  Sorehari waktu aku membersihkan belakang rumah... ya ampun, keranjang beserta pakaian bekas kami tergeletak di situ.  Tak pernah dalam hidupku aku menderita malu seperti ini.  Malu:  tak mengerti si pemulung tak membutuhkan pakaian bekas.  Pakaiannya yang dekil dan sobek-sobek mungkin semacam seragam harian sebagai pemulung.  Bukan karena tak punya pakaian!  Betapa aku tak tahu duduk perkara sekecil itu!  Tak kuat menanggung malu maka kuberitakan pengalaman ini pada seorang sahabat, seorang professor emeritus di seberang lautan.  Perasaan malu itu memang mereda, namun tetap mengganggu bila teringat.  Jadi, tahu apa kau sebenarnya tentang rakyatmu?  Dan semua ini hanya gara-gara teman pemulung dari Pacitan itu.

Nyatanya cerita ini belum habis sampai di sini.

Seorang teman bersama temannya mengajak ke lapangan setir mobil.  Temannya adalah instruktur setir mobil.  Seperti biasa bicaranya tak terkendali, riuh, dengan tangan, kepala, bahkan kaki memberi tekanan pada suaranya, dan semburan percikan ludahnya menggerimisi wajah lawan-bicaranya.

“Ayohlah,” katanya, “kalahkan traumamu.  Dia cuma mobil, tak perlu ada trauma menyopir.”

Memang pernah kuceritakan padanya, dalam bulan pertama pulang dari Buru aku mendapat mobil Datsun.  Kubawa seorang instruktur untuk membiasakan menyopir.  Maklum sudah puluhan tahun tak pernah pegang kemudi.  Waktu Jepang menyerah mobil bergeletakan sepanjang jalan.  Siapa pun boleh ambil untuk dirinya asal punya bensin.  Seorang pesakitan Cipinang dalam masa kosong kekuasaan membebaskan diri bersama yang lain-lain.  Nampaknya ia bekas kriminal berat, pindahan dari penjara Kutaraja, Aceh.  Sudah tak dapat kuingat namanya, juga tak kuingat bagaimana kami berkenalan.  Dialah, entah bagaimana, bisa mendapatkan bensin.  Sebuah Willys Cabriolet ia isi tangkinya.  Mesinnya ternyata bagus.  Mari, Bung, katanya, belajar nyetir.  Kami keliling kota.  Beberapa hari kemudian aku telah dapat mengendalikan kereta ajaib itu.  Setelah ia yakin aku bisa mengendarainya, wut!, ia hilang tak jelas rimbanya.  Dan tak pernah berjumpa lagi.  Mobil itu sendiri kemudian juga hilang tak jelas rimbanya waktu kuparkir di pinggir jalan di samping rumah, salahnya bensin dalam tangkinya.

Ini hanya cerita bahwa memang ada pengalaman menyopir padaku.  Nampaknya pengalaman secuwil itu membikin aku terlalu percaya diri.  Instruktur di sampingku hampir-hampir tak kugubris.  Datsun berputar entah berapa puluh kali mengelilingi lapangan.

“Sekarang mundur,” perintahnya.

Waktu itulah kaki tak tahu diri.  Yang seharusnya rem diinjaknya, justru gas yang kena.  Dalam keadaan mundur kencang pantat mobil menubruk warung dan mesin mati.  Wanita penjaga warung yang duduk di bangku kayu, pucat, tak bisa bicara.  Seorang polisi lalulintas, yang mengawasi lapangan, lari mendapatkan kami.  Dalam keadaan terguncang aku keluar dari mobil.  Juga sang instruktur.

Dengan wajah keras ia perintahkan aku memperlihatkan surat-surat kendaraan, dan tentu saja KTP.  Matanya melompat-lompat dari kertas-kertas di tangannya pada wajahku.  Kemudian, kemudian sekali, mata itu ditujukan pada kakiku.

O, bapak, katanya.  Lama sudah kukenal, baru sekali bertemu orangnya.  Ia angkat tangan kanannya memberi hormat.  Dan sesuai engan tradisi militer Jepang aku membungkuk membalas.  Begini saja, ya pak, ganti saja kerugiannya.

Pemilik (atau penjaga) warung itu masih duduk kaku.  Maaf, bu, mari kami bawa ke rumahsakit.  Ia menggeleng.  Seorang lelaki datang dan menengahi.  Biar aku sendiri antarkan dia ke dokter.  Barangkali suaminya.

Aku berikan kartu namaku.  Ganti rugi dan ongkos dokter harap diambil pada alamat ini, kataku.  Cukup, pak polisi?  Kataku.

Ia mengangguk.  Aku salami lelaki itu dan minta maaf.  Ia mengangguk.  Juga kuularkan tangan pada wanita itu.  Kurasai tangannya menggigil.

Trauma nyopir itu begitu mendalamnya sehingga dalam mobil teman dan temannya aku masih tetap waswas, kalah terhadap perasaan sendiri.  Tak mampu melihat kembali wanita penjaga warung yang seperti patung batu karena kagetnya.  Sebelum mobil memasuki gerbang lapangan latihan nyopir mobil melewati seorang pemulung.  Benar, dia teman dari Pacitan dengan sidikwajahnya yang abadi.  Keranjang bambu tidak lagi pada punggungnya.  Ia berjalan santai menghela gerobak.  Di atas tumpukan sampah, tua tanpa daya, kakek dengan tailalat kembarnya.

“Stop!” kupinta pada teman.  “Turun sini.  Nanti aku pulang sendiri.”

“Masih juga groggy?  Trauma tak kunjung habis?”

Tanpa menjawab aku turun, berhenti di pinggir jalan menunggu sejoli ex tapol itu lewat.  Dan matahari sudah mulai terasa terik.

“Ai-ai,” tegurku.

Ia berhenti.  Tangan tetap memegangi boom gerobak.  Dan ia tersenyum.  Kakek di atas sampah dalam terobak asyik membaca koran.  Bukan tekateki dari mana ia dapatkan kacamata.  Sampah memberikan segala-galanya.

“Sudah makan?”

“Nanti sudah.”  Nampaknya ia lebih ramah daripada dalam pertemuan di halte bus dulu.  Lima kilometer dari tempat ini.  Waktu hendak menegur si kakek ia melarang.  “Sama sekali tak ada gunanya.  Tuli sepenuh tuli.”  Ia pinggirkan gerobaknya dan dengan sangat hati-hati menyandarkan boom gerobaknya di atas bibir jambang bung dari beton.

Kakek sama sekali tak memperhatikan kami.

“Lalu apa yang dibacanya?”

“Semua, kecuali iklan penawaran.  Yang terpenting baginya iklan jenis lain.  Bukan iklan penawaran.  Iklan kematian.”

“Ha?”

“Jangan ganggu dia.  Lihat saja.  Ya, ia sedang membaca iklan kesukaannya.  Perhatikan airmukanya.”

Memang kuperhatikan.  Ternyata selain berkacamata ia juga menggunakan kaca pembesar di tangan kiri.  Jelas pipinya yang sudah kempot itu sedang tersenyum.

“Tersenyum, kan?  Itu tanda yang meninggal jauh lebih muda dari dirinya.  Kalau dengan geleng-geleng kepala itu tanda yang mati berumur di bawah tiga puluh.  Bila ia tercenung tanpa gerak wajah yang mati berumur sekitar seratus tahun.”

“Luar biasa.  Betapa kau kenali dia.”

“Sehari-harian aku bersama dia.  Berak pun aku yang mengurus.”

Sekarang aku yang tercenung.  Mataku berkaca-kaca.  Betapa tinggi setiakawan anak Pacitan ini.  Suaraku tersekat di tenggorokan waktu aku mencoba bertanya berapa umurnya.

“Dua-tiga tahun lagi dia akan melewati seratus.  Seperti itu, dan masih tetap jadi landasan penindasan.  Hanya agar beberapa sang gelintir bisa hidup kaya, terlalu kaya, mewah dan berkuasa.”

“Stt!”

“Ya, begini kami.  Bung memang bukan bagian dari kami.”  Ia angkat boom gerobaknya dan meneruskan perjalanannya.  Ia tak mengharapkan percakapan berlanjut.  Dan ia berjalan terus tanpa menoleh.  Kakek dari Kebumen masih tetap membaca koran bekas.  Mereka hilang di tikungan.  Tak ada guna mengikuti.  Teman Pacitan itu tak ingin diketahui tempat tinggalnya.

Cerita ini mestinya selesai sampai di sini.  Nyatanya cerita ini belum mampu mengakhiri dirinya sendiri.

Waktu menggelinding begitu cepatnya.  Indonesia, katanya, telah setengah abad merdeka.  Memang bukan kemerdekaan bagi orang-orang seperti kami, karena kami hanya batu-batu kerikil buat fondasi kemerdekaan.  Tempat kami tetap dalam fondasi.  Kemerdekaan itu sendiri tumbuh dan berkembang tanpa pernah mengidahkan fondasinya sendiri.

Limapuluh tahun merdeka pun telah lewat beberapa bulan.  Waktu itulah pandangku nanar menggerayangi wajah teman Pacitan, menelusuri bekas sodetan senjata tajam dari telinga sampai dagunya.  Memang dia.  Seongggok tubuh yang duduk menggelesot di atas lantai stasiun Kota.  Ia tak mengenakan seragam pemulung yang sobek-sobek dan dekil.  Bahkan rambutnya pun kelimis bersisir.  Di atas lantai stasiun memang ada tong-tong sampah, tapi keranjang bambu dan gerobak sampah tidak ada.  Lantai kelihatan bersih.  Juga tak ada di halaman stasiun.  Jadi apa sekarang kerjanya?